Kebijakan Cukai Tembakau Purbaya Dinilai Selamatkan Ekonomi dan Lapangan Kerja

Rabu, 05 November 2025 | 10:36:04 WIB
Kebijakan Cukai Tembakau Purbaya Dinilai Selamatkan Ekonomi dan Lapangan Kerja

JAKARTA - Langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang memutuskan untuk menahan kenaikan tarif cukai rokok disambut baik oleh banyak pihak, termasuk DPR RI. 

Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, menilai keputusan tersebut merupakan angin segar bagi industri hasil tembakau (IHT) dan jutaan tenaga kerja yang bergantung padanya. 

Ia menegaskan, kebijakan ini tidak hanya menjaga stabilitas fiskal, tetapi juga memberikan perlindungan bagi sektor yang selama ini menjadi salah satu penopang utama pendapatan negara.

“Yang menjadi angin segar adalah apa yang disampaikan oleh Pak Purbaya, yaitu mengenai tidak dinaikkannya cukai rokok, sebagai respons kebijakan atas permasalahan di industri hasil tembakau selama ini,” ujar Misbakhun kepada wartawan.

Ia menambahkan, selama bertahun-tahun industri hasil tembakau menjadi salah satu sektor strategis dalam penerimaan negara, namun sering kali terbebani oleh kebijakan fiskal yang tidak seimbang. 

Menurutnya, langkah menahan kenaikan cukai ini adalah momentum penting untuk memperbaiki arah kebijakan agar lebih berkeadilan dan berorientasi pada keberlanjutan ekonomi nasional.

“Kalau kita serius ingin menyelesaikan ini secara fundamental, harus kemudian secara bersama-sama kita duduk dalam satu meja, mumpung Pak Purbaya ini memberikan harapan baru,” lanjutnya.

Misbakhun menegaskan pentingnya reformasi struktural di sektor fiskal agar kebijakan yang dihasilkan mampu menyeimbangkan empat pilar utama: pengendalian konsumsi, penerimaan negara, ketenagakerjaan, serta dampak sosial-ekonomi masyarakat.

Perlindungan terhadap Jutaan Pekerja

Misbakhun menyoroti bahwa industri hasil tembakau melibatkan sekitar enam juta tenaga kerja aktif, belum termasuk anggota keluarga yang bergantung pada sektor ini. Oleh karena itu, kebijakan yang terlalu menekan industri tersebut berpotensi memicu efek domino terhadap kesejahteraan sosial masyarakat.

“Aspek enam juta orang yang terlibat di dalam industri ini, aktif ya, belum termasuk keluarga, itu kan juga menjadi aspek yang penting untuk diperhatikan,” tegasnya.

Ia menyebut, jika sektor ini terguncang akibat kenaikan tarif cukai yang berlebihan, maka bukan hanya pekerja yang terdampak, tetapi juga daerah penghasil tembakau yang ekonominya sangat bergantung pada aktivitas industri tersebut. 

Dalam konteks inilah, keputusan Purbaya dianggap memberi ruang untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan fiskal dan perlindungan sosial.

Langkah ini juga dinilai dapat menghindarkan pemerintah dari risiko kontraproduktif akibat kebijakan yang berpotensi menurunkan daya beli masyarakat. Kebijakan yang berpihak pada stabilitas jangka panjang dianggap sebagai strategi cerdas untuk memperkuat ekonomi kerakyatan.

Risiko Kenaikan Cukai dan Dampak Ekonomi

Dari sisi ekonomi makro, sejumlah pengamat menilai bahwa moratorium atau penundaan kenaikan cukai justru lebih kecil risikonya dibandingkan skenario kenaikan tarif.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menjelaskan bahwa langkah tersebut masih mampu menjaga stabilitas penerimaan negara tanpa menimbulkan gejolak sosial maupun inflasi berlebihan.

“Kami juga melakukan perhitungan, apa efeknya ke penerimaan negara kalau tidak naik atau moratorium. Kami melihat dengan moratorium ini bisa dapat Rp231 triliun,” kata Tauhid.

Menurutnya, kebijakan menaikkan tarif cukai selama ini justru kontraproduktif. Alih-alih meningkatkan pendapatan negara, hal itu malah mendorong peningkatan peredaran rokok ilegal dan menekan daya beli masyarakat. 

Masyarakat cenderung mencari produk dengan harga lebih murah, termasuk rokok tanpa pita cukai yang beredar secara ilegal.

“Kalau kita lihat data, kenaikan tarif itu justru mendorong ilegal itu semakin tinggi. Kenapa? Karena daya beli tidak setinggi daripada kenaikan tarif cukai tadi. Sehingga masyarakat mencari rokok yang murah bahkan yang tidak ada cukainya (rokok ilegal),” ujarnya.

Perlu Kebijakan Fiskal yang Lebih Seimbang

Tauhid juga menyoroti tren peningkatan peredaran rokok ilegal yang merugikan negara karena menyebabkan kebocoran penerimaan dan memunculkan ekonomi tersembunyi atau shadow economy. Fenomena ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang terlalu menekan dapat memunculkan distorsi di lapangan.

“Trennya naik begitu, di 2020 4,9 persen dan di 2023 6,9 persen. Artinya penerimaan negara yang cenderung turun dan industrinya, ternyata yang muncul ada yang kita sebut sebagai hidden economic yang tidak terhitung dalam Produk Domestik Bruto (PDB),” jelasnya.

Kondisi ini menjadi sinyal kuat bagi pemerintah untuk meninjau ulang pendekatan fiskal terhadap industri hasil tembakau. Menurut Tauhid, kebijakan yang seimbang harus mempertimbangkan aspek penerimaan negara sekaligus dampak sosial-ekonomi di tingkat akar rumput. 

Dengan demikian, arah pembangunan ekonomi nasional dapat berjalan beriringan dengan perlindungan terhadap lapangan kerja dan penguatan daya beli masyarakat.

Langkah Menteri Keuangan Purbaya menahan kenaikan cukai pun dianggap bukan sekadar kebijakan teknis fiskal, melainkan bagian dari strategi jangka panjang untuk menjaga ketahanan ekonomi nasional. 

Dukungan dari berbagai pihak menunjukkan bahwa pendekatan kolaboratif antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat menjadi kunci menuju keseimbangan ekonomi yang berkelanjutan.

Terkini

14 Aplikasi Gratis Belajar Bahasa Inggris 2025

Rabu, 05 November 2025 | 19:59:36 WIB

Cara Membatalkan Pesanan di Zalora, Mudah dan Praktis

Rabu, 05 November 2025 | 19:59:33 WIB

11 Cara Jitu Mengatasi Susah Tidur, Dijamin Ampuh!

Rabu, 05 November 2025 | 19:59:26 WIB