Surplus Dagang

Indonesia Pertahankan Surplus Dagang Global Meski Tekanan Ekspor-Impor Meningkat

Indonesia Pertahankan Surplus Dagang Global Meski Tekanan Ekspor-Impor Meningkat
Indonesia Pertahankan Surplus Dagang Global Meski Tekanan Ekspor-Impor Meningkat

JAKARTA - Performa perdagangan Indonesia terus menunjukkan ketahanan yang kuat di tengah tekanan ekonomi global dan dinamika kebijakan tarif internasional. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan kumulatif sejak Januari hingga September 2025 mencapai US$ 33,48 miliar, meningkat tajam dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 22,18 miliar.

Kinerja positif ini menjadi bukti bahwa ekspor Indonesia masih tangguh di tengah tantangan harga komoditas global dan kebijakan dagang baru dari sejumlah negara mitra. Bahkan, meskipun Amerika Serikat (AS) telah memberlakukan tarif resiprokal sebesar 19% sejak Agustus 2025, hubungan perdagangan kedua negara masih menunjukkan arah yang menguntungkan bagi Indonesia.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, menjelaskan bahwa sepanjang Januari hingga September 2025, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan dengan AS sebesar US$ 15,70 miliar. Total nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai US$ 23,003 miliar, sementara impor tercatat US$ 7,33 miliar.

“Penyumbang surplus terbesar adalah mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya (HS 85), pakaian dan aksesorinya (rajutan) (HS 61), dan alas kaki (HS 64),” ungkap Pudji dalam konferensi pers. Ketiga komoditas tersebut menjadi tulang punggung ekspor nonmigas Indonesia yang terus memperkuat posisi di pasar global.

Selain dengan AS, India juga menjadi mitra dagang penting dengan surplus sebesar US$ 10,52 miliar. Ekspor Indonesia ke India tercatat mencapai US$ 14,02 miliar, sementara impor hanya US$ 3,50 miliar. 

Komoditas unggulan yang menopang surplus ini antara lain bahan bakar mineral (HS 27), lemak dan minyak hewani/nabati (HS 15), serta besi dan baja (HS 72).

Di kawasan ASEAN, Filipina turut menjadi penyumbang positif bagi neraca perdagangan nasional. Indonesia menikmati surplus sebesar US$ 6,45 miliar, dengan ekspor mencapai US$ 7,68 miliar dan impor US$ 1,23 miliar. 

Produk unggulan yang menopang hubungan dagang ini meliputi kendaraan dan bagiannya (HS 87), bahan bakar mineral (HS 27), serta minyak nabati (HS 15).

China Masih Dominasi Impor Indonesia dan Jadi Sumber Defisit Terbesar

Di balik capaian surplus besar dengan sejumlah negara, BPS juga mencatat adanya defisit neraca dagang dengan beberapa mitra utama, terutama China, Australia, dan Thailand.

Menurut Pudji Ismartini, defisit perdagangan dengan China masih menjadi yang tertinggi, mencapai US$ 15 miliar pada Januari–September 2025. Nilai impor dari China tercatat US$ 62,07 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan ekspor yang hanya US$ 46,47 miliar.

Komoditas yang paling banyak diimpor dari China meliputi mesin dan peralatan mekanis (HS 84), mesin dan perlengkapan elektrik (HS 85), serta kendaraan dan bagiannya (HS 87). Ketergantungan terhadap produk manufaktur dari China menjadi salah satu faktor utama defisit neraca dagang kedua negara.

Sementara itu, dengan Australia, defisit perdagangan mencapai US$ 3,38 miliar. Impor utama dari Australia terdiri atas serealia (HS 10), bahan bakar mineral (HS 27), serta bijih logam dan abu (HS 26).

Adapun dengan Thailand, Indonesia juga masih mencatat defisit sebesar US$ 1,29 miliar. Komoditas yang menyumbang defisit terbesar berasal dari sektor plastik dan barang turunannya (HS 29), gula dan kembang gula (HS 17), serta mesin dan peralatan mekanis (HS 84).

Peluang Diversifikasi Ekspor dan Penguatan Industri Domestik

BPS menilai bahwa capaian surplus besar di satu sisi dan defisit di sisi lain menunjukkan perlunya strategi diversifikasi ekspor dan penguatan industri substitusi impor. Indonesia dinilai memiliki peluang besar untuk meningkatkan nilai tambah produk domestik agar tidak bergantung pada bahan baku impor.

Dengan surplus yang cukup besar terhadap negara-negara mitra seperti AS, India, dan Filipina, pemerintah dapat memperkuat sektor industri pengolahan ekspor seperti tekstil, alas kaki, dan produk minyak nabati. 

Di sisi lain, sektor yang menyebabkan defisit seperti mesin dan peralatan mekanis perlu segera ditingkatkan kapasitas produksinya melalui investasi dan inovasi teknologi.

Selain itu, strategi pengendalian impor barang konsumsi dan peningkatan kapasitas produksi dalam negeri dapat menjadi langkah untuk memperbaiki keseimbangan perdagangan dengan negara-negara penyumbang defisit seperti China dan Australia. 

Upaya ini juga sejalan dengan arah kebijakan pemerintah dalam memperkuat industri nasional berbasis sumber daya domestik.

Konsistensi Surplus Jadi Bukti Ketahanan Ekonomi Nasional

Kinerja neraca perdagangan yang terus menunjukkan surplus selama sembilan bulan berturut-turut menjadi sinyal positif bagi ekonomi Indonesia. Meskipun masih ada tantangan berupa defisit dengan negara tertentu, capaian ini menegaskan ketahanan sektor ekspor nasional di tengah perlambatan ekonomi global.

Pudji Ismartini menegaskan bahwa tren surplus perdagangan ini menunjukkan kemampuan industri nasional dalam menyesuaikan diri terhadap kebijakan tarif baru dan fluktuasi pasar internasional.

“Selama ekspor nonmigas tetap tumbuh dan sektor industri dalam negeri terus berinovasi, Indonesia akan mampu mempertahankan surplus dagang yang berkelanjutan,” ujarnya.

Dengan performa ekspor yang masih kuat, neraca perdagangan Indonesia diharapkan terus mendukung pertumbuhan ekonomi nasional serta menjaga stabilitas nilai tukar dan cadangan devisa negara.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index